Sunday, April 27, 2008

Harga Beras Mulai Naik

Harga beras mulai naik.....? wah kalau gitu makan roti aja...ah...
Itu kalau mereka berduit ...kalau enggak gimana..?
Seperti dilaporkan Kompas Harga beras di prediksikan naik,berikut petikannya secara utuh.


Jumat, 25 April 2008 11:44 WIB
JAKARTA,JUMAT - Menyusul kenaikan harga pembelian pemerintah terhadap gabah dan beras yang diumumkan pemerintah hari Rabu silam, harga beras di salah satu pasar tradisional juga mengalami kenaikan. Kenaikan harga beras merata untuk setiap kualitas beras dengan Rp 200 per kilogram yang dijual.

Menurut Tatang, salah satu pemilik agen beras di Pasar Palmerah, kepada kompas.com, Jumat (25/4), kenaikan harga ini memang dimulai sejak dua hari yang lalu sejak pemerintah mengumumkan HPP baru untuk gabah dan beras. Di tokonya Tatang yang sebelumnya menjual beras kualitas Super dengan harga Rp 5.800 per kg kini menjual dengan harga Rp 6.000. Sedangkan beras kualitas sedang yang sebelumnya dijual dengan harga Rp 5.000 naik menjadi Rp 5.200 per kg.

Hal serupa juga terjadi untuk beras dengan kualitas rendah yang kini dijual dengan harga Rp 4.200. Tatang mengakui kenaikan harga beras ini belum mempengaruhi jumlah permintaan atau pembelian secara eceran maupun grosir dari dirinya yang bertindak sebagai agen beras. "Nggak ada pengaruh sih, karena memang naiknya dikit. Tapi kalau naiknya Rp 500 atau Rp 1.000 mungkin iya, ada pengaruhnya," ujar Tatang yang membantu ibunya, Sri Asih, yang telah berjualan beras sejak 20 tahun lalu.

Toko beras Tatang mengambil beras jadi langsung dari daerah-daerah, seperti Karawang, Cirebon, dan Solo. Setelah itu, beras tersebut akan didistribusikan di sejumlah kios dan rumah makan di Jakarta.

Sedangkan di Pasar Induk Cipinang (PIC), Jakarta, harga beras jenis IR menguat antara Rp 50 hingga Rp 100 per kg. Beras jenis IR yang naik yaitu IR 64-1 dari Rp 5.200 menjadi Rp 5.250 per kg, IR 64-11 menjadi Rp 4.900 dari Rp 4.850 per kg dan IR 64-111 dari Rp 4.350 menjadi Rp 4.450 per kg. Menurut dia, pasokan beras ke pasar induk dari berbagai sentra produksi di daerah tetap lancar mencapai 58.119 ton, sedangkan beras yang ke luar hanya 56.385 ton.

Pasokan beras dari sentra daerah yang paling tinggi, terutama berasal dari pantura Jawa Barat selama April (1 sampai 23 April) seperti Cirebon sebesar 17.683 ton, dari Karawang 17.515 ton, Bandung 6.627 ton dan Cianjur pada 700 ton. Sedangkan dari kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing mencapai 12.365 ton dan 2.275 ton yang didukung pula oleh stok beras di gudang Jakarta yang mencapai 227 ton.

Kenaikan harga beras juga terjadi di sejumlah pasar tradisional di Gorontalo. Menurut sejumlah pedagang, stok di pasar stabil, namun permintaan agak meningkat sehingga memicu harga beras itu naik. Harga IR 64 naik menjadi Rp 5.500 dari Rp 5.300 per kg. Cibogor menjadi Rp 5.600 dari Rp. 5.400. Super Win menjadi Rp 6.300 dari Rp 6.000. Serta KS Super menjadi Rp 6.300 dari Rp 6.000.

Sementara di Lampung, sejumlah pedagang beras di pasar- pasar tradisional berancang-ancang untuk menaikkan harga beras, karena harga beras dari penggilingan padi juga diperkirakan naik. "Kemarin saya beli beras dari pabrik penggilingan seharga Rp 4.000 per kilogram untuk beras asalan, saya jual Rp 4.300/Kg. Dengan kenaikan HPP itu, tentu pabrik menaikkan harga berasnya, dan kita juga menaikkan harga jualnya," kata Roji, pedagang beras di Pasar Tugu Bandarlampung seperti dikutip Antara.

Harga beras kualitas asalan Rp 4.300/Kg, sedang beras premium Rp 6.400/Kg. Sebelum pengumuman HPP itu, beberapa pabrik penggilingan malah menjual beras Rp3.500/Kg untuk kualitas asalan, seperti di Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan.

Pemerintah menaikkan HPP gabah kering panen (GKP) di petani yang pada Inpres 3/2007 ditetapkan Rp 2.000/kg naik Rp 200 menjadi Rp 2.200/kg. Sedangkan untuk harga gabah kering giling (GKG) di gudang Bulog, merangkak naik dari sebelumnya Rp 2.600/kg menjadi Rp 2.840/kg. Kenaikan juga terjadi pada harga beras di gudang Bulog. Dari yang semula sebesar Rp 4.000, kini harganya menjadi Rp 4.300 per kg.

Sebagian Besar Negara Bagian AS Tenggelam ke Resesi

Inilah berita terbaru dari negeri adidaya seperti dilaporkan Kompas .

Sabtu, 26 April 2008 06:48 WIB
WASHINGTON, SABTU - Sebagian besar kondisi keuangan di negara bagian Amerika Serikat memburuk dan menembus ambang batas resesi. Tanpa melihat apakah AS secara keseluruhan telah tenggelam ke dalam resesi, sebuah hasil survei terhadap 50 direktur fiskal di AS ini menyimpulkan bahwa situasi keuangan di AS bahkan berpotensi terus memburuk pada tahun fiskal yang dimulai 1 Juli 2008 di sebagian besar negara bagian.

Presiden George W.Bush menjelaskan Selasa (22/4) bahwa ekonomi AS belum memasuki masa resesi tetapi berada pada periode kelesuan. Namun demikian, beberapa ekonom menyebut AS telah terperosok ke dalam resesi dengan indikasi penurunan permintaan produksi manufaktur di negeri Paman Sam tersebut.

Hasil survei yang dikeluarkan oleh National Conference of State Legislatures menyebutkan lebih dari 16 negara bagian di AS melaporkan defisit tahun ini sehingga harus memotong anggarannya. Pemotongan anggaran tersebut diantaranya diajukan oleh anggota parlemen di Florida sehingga mencapai 1 miliar dolar AS tahun 2007 lalu. Sedikitnya 8 negara bagian AS memperdebatkan kenaikan pajak rokok termasuk usulan kenaikan pajak hingga 1 dolar AS per bungkusnya di Massachusetts untuk meraih pendapatan pajak hingga 175 juta dolar AS.

Dua belas negara bagian, termasuk Georgia, Idaho serta Illinois melaporkan pengumpulan pendapatan pajak yang tidak memenuhi estimasi. Bahkan 8 dari 12 negara bagian tersebut meraih pendapatan pajak di bawah prediksi yang telah diturunkan.

Banyak negara bagian termasuk Alabama, Arizona, Massachusetts, Minnesota, Nevada serta Wisconsin berencana mengucurkan cadangan anggaran mereka, termasuk alokasi dana untuk kebutuhan fiskal darurat. Nevada bahkan diperkirakan akan menggunakan seluruh saldo cadangan anggarannya.

Kepanikan Landa Bursa Saham Dunia

Panik lagi... panik lagi ...., ini menimpa pasar saham dunia seperti di laporkan Kompas sebagai berikut.

Selasa, 22 Januari 2008 23:57 WIB

NEW YORK, SELASA - Pasar saham di berbagai belahan dunia jatuh. Kepanikan melanda akibat kekhawatiran bahwa Amerika Serikat akan terbelit resesi.

Bursa Wall Street, Selasa (22/1) langsung mengalami kepanikan setelah sesi perdagangan dibuka. Saham blue-chip lansung jatuh 400 poin, namun kemudian sedikit membaik sehingga hanya jatuh 135,10 poin (total turun 1,12 persen).

Kejatuhan yang cukup signifikan terjadi pada Nasdaq, turun 59,72 poin (2,55 persen). Indeks 500 Standard & Poor’s turun 20,20 poin (1,52 persen).

Penurunan harga saham di bursa AS tersebut merupakan rentetan dari kepanikan yang melanda bursa saham di berbagai belahan dunia atas kekhawatiran terjadi resesi di AS. Pasar saham Eropa pada Senin lalu mengalami kejatuhan terburuk semenjak kasus serangan teroris 11 September 2001 di New York.

Kekhawatiran pasar saham dunia tersebut kian bertambah setelah Bank Sentral AS (The Fed) yang menurunkan suku bunga 75 basis poin menjadi 3,50 persen, yang ditujukan untuk meredam kekhawatiran tersebut pada Selasa.

Pasar saham Eropa Selasa juga masih mengalami penurunan. Di bursa China, indeks saham unggulan terpangkas 7,22 persen, bursa Sydney (Australia) jatuh 7,1 persen.

Bursa saham di kawasan Teluk dan Arab juga menderita hal sama. Bursa Arab Saudi yang merupakan bursa saham terbesar di kawasan Arab, jatuh 9,7 persen. Bursa Dubai juga jatuh, 6,2 persen.(AFP/Put)

Greenspan dan Warisan Krisis

Inilah Tokoh yang sangat disegani di AS yang saat ini justru dituding sebagai biang kacaunya ekonomi AS berikut petikannya secara utuh dari koran Kompas.

Senin, 31 Maret 2008 00:41 WIB

Kalau ada tokoh paling kontroversial dalam sejarah krisis ekonomi AS, salah satunya mungkin adalah Alan Greenspan. Waktu masih menjabat, Greenspan yang menjabat sebagai pimpinan Federal Reserve selama hampir dua dekade (Agustus 1987-31 Januari 2006) bisa dikatakan adalah salah satu pimpinan bank sentral paling kuat dan disegani di AS, bahkan di dunia.

Ia menerima perlakuan dan sorotan bak selebritas, melebihi bintang-bintang musik rock ternama. Ia juga menjadi acuan semua pengelola bank sentral (central bankers) di seluruh dunia. Banyak julukan diberikan kepadanya oleh media massa dan kalangan bankir. Mulai dari the Giant, Maestro, ”symbol of American Economic Preeminence”, ”orang yang mampu membawa ekonomi keluar dari serangkaian bencana dan malapetaka”, ”tokoh yang mampu membawa perekonomian AS ke dalam salah satu booming ekonomi terpanjang dalam sejarah”, ”tokoh yang mampu menjinakkan gejolak saham dalam peristiwa crash pasar saham (Black Monday) tahun 1987”. Dan masih banyak lagi.

Tetapi, seiring resesi dan krisis finansial yang kini mulai menggulung perekonomian AS, nama Greenspan juga berada di tengah pusaran caci maki. Kebijakan Fed di bawah Greenspan dituding berperan besar dalam membawa keambrukan ekonomi AS sekarang ini. Melalui kebijakan moneter longgar dan suku bunga rendah, Greenspan dituding telah membangun ”rumah kartu” dan mewariskan bom waktu yang kini perlahan terurai dan menunggu meledak dalam skala penuh.

Kebijakan suku bunga rendah yang dimulai sejak tahun 2002, saat Greenspan secara agresif mulai menurunkan suku bunga, telah memicu terjadinya real estate bubble (booming sektor perumahan diikuti inflasi harga perumahan secara tidak wajar), yang mencapai puncaknya tahun 2005-2006.

Greenspan dalam pengakuan waktu itu mengatakan, kebijakan (menciptakan bubble di sektor perumahan) itu disengaja dengan tujuan untuk menggantikan bubble saham industri dot.com yang sudah berakhir. Alasan dia, itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan perekonomian AS dari resesi akibat kolapsnya industri dot.com. Kemampuan manuver untuk menyelamatkan ekonomi AS dari satu krisis akibat suatu bubble dengan cara menciptakan bubble baru itu membuat ia dijuluki ”The Bubble Man”.

Greenspan menjadi sosok penuh kontroversi lewat kontradiksi tindakan dan ucapannya yang mengesankan ia tak mau dipersalahkan atas segala kemelut yang dihadapi perekonomian AS sekarang ini. Terkait tudingan bahwa ia telah merampok masyarakat dan memperkaya kaum berpunya lewat dukungannya terhadap kebijakan pajak regresif yang ditempuh Bush, misalnya. Greenspan mengklaim dia justru menentang kebijakan tersebut.

Padahal, faktanya, dalam testimoni di depan Komite Anggaran Senat 2001, menurut analis Stephen Lendman dalam sebuah artikel di Global Research, Greenspan memang mendukung penuh kebijakan ekonomi Bush yang bertumpu pada paket kebijakan pemotongan pajak yang sangat bias pada usaha besar dan kelompok kaya dengan dalih untuk merangsang ekonomi. Waktu itu Greenspan terang-terangan mengatakan, pemangkasan pajak diperlukan untuk mencegah meluasnya keterpurukan ekonomi.

Greenspan juga mengadvokasikan diakhirinya UU anti-trust, regulasi dan aturan mengenai pelayanan sosial, agar tak ada apa pun lagi yang bisa mengganggu keserakahan bisnis dan perburuan profit oleh para pelaku pasar uang. Maka, faham kebijakan ekonominya pun diplesetkan dari Greenspanomics menjadi Greedomics (ekonomi yang digerakkan oleh keserakahan).

Ia juga mengatakan, tak bertanggung jawab atas terjadinya bubble pasar saham tahun 2000. Dia mengaku tidak melihat indikasi ke arah itu sebelumnya. Padahal, bubble itu tak akan terjadi tanpa ada kebijakan menggelontorkan likuiditas dalam skala masif seperti yang dilakukannya.

Tak akurat

Berbagai kebijakan yang ditempuh Greenspan menunjukkan ia sebagai pimpinan Bank Sentral berulang kali mengabaikan atau tidak akurat dalam membaca gejala/potensi bahaya atau ketidakberesan yang muncul saat itu. Padahal, kebijakannya menjadi acuan semua pelaku ekonomi, bukan hanya di AS, tetapi di seluruh dunia. Salah satunya, saat ia memprediksikan cerahnya prospek industri berbasis teknologi informasi.

Sepekan kemudian, indeks Nasdaq untuk saham-saham teknologi mengalami crash (anjlok dramatis) dari 5.048 menjadi 1.114 pada 9 Oktober 2002 atau terpangkas 78 persen. Indeks S&P 500 untuk 500 saham unggulan bernasib sama, terjerembab 49 persen. Para investor pun babak belur. Hari itu dikenal sebagai Selasa Kelam (Black Tuesday) oleh kalangan pasar modal. Dan apa yang dilakukan Greenspan? Tak jera, ia malah sibuk mengorkestrasi bubble baru dengan apalagi kalau bukan kembali menggelontorkan likuiditas murah bak tsunami ke Wall Street dan para investor besar, kali ini untuk sektor perumahan kelas dua (sub-prime). Dampak katastropik meletusnya bubble itulah yang kini kita saksikan di AS.

Bagi mereka yang lama mengenal Greenspan, semua sepak terjang dan reputasi Greenspan itu ternyata bukan hal yang mengagetkan. Mungkin orang tidak tahu, Greenspan yang mendapat gelar PhD dari Columbia University (padahal ia tak pernah menyelesaikan disertasinya) itu ternyata tak bisa dikatakan sukses mengelola bisnisnya sendiri.

Salah seorang pesaing usahanya, Pierre Renfret, mengatakan bahwa perusahaan konsultan Greenspan selalu membuat rekor prediksi paling tidak akurat atau jauh meleset, dan akhirnya bangkrut dan harus ditutup. Artinya, sebagai wirausahawan ia gagal. Anehnya, ia banyak dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan penting yang terkait dengan penyusunan prediksi ekonomi di pemerintahan, bahkan akhirnya jadi pimpinan Fed untuk beberapa periode lagi.

Namun, semua cacian yang dihadapinya sekarang itu tampaknya tak mengusik Greenspan. Di usia 81 tahun sekarang ini, ia tetap bisa menikmati pensiun dengan tenang. Buku memoarnya, The Age of Turbulence, laku 1,9 juta kopi lebih dan dari penjualan buku itu ia mengantongi royalti tak kurang dari 8,5 juta dollar AS (hanya kalah dari buku Bill Clinton yang 10 juta dollar AS).

Ia juga mendirikan perusahaan konsultan sendiri (Greenspan Associates LLC) dan hampir semua lembaga investasi atau bank besar berebut merekrutnya karena koneksi ekstensif yang ia miliki. Undangan berbicara tak pernah sepi dan kantongnya pun semakin tebal. Honor ratusan ribu dollar AS yang diterimanya setiap kali tampil sekarang ini, menurut Lendman, belum seberapa dibandingkan dengan triliunan dollar AS uang yang ia bantu salurkan ke kaum kaya (rich) dan superkaya (super rich). Istilah Lendman, mereka saling menjaga di antara sesama mereka. (Sri Hartati )

Saturday, April 19, 2008

Harga Minyak Merangkak Naik

Berikut petikan berita seputar kenaikan harga minyak mentah dunia.

Harga Minyak Merangkak Naik
Koran-Tempo, 28 Maret 2008

TEMPO Interaktif, Jakarta:Harga minyak dunia kembali merangkat naik mendekati US$ 110 per barel pada perdangangan Kamis (27/3) terpicu oleh berita meledaknya pipa minyak di Irak oleh aksi sabotase.

Di pasar utama New York, minyak mentah ringan untuk pengiriman Mei naik US$ 1,68 per barel. Minyak mentah ini ditutup pada harga US$ 107,58 per barel, setelah sempat menyentuh harga US$ 108,22 per barel pada perdagangan siang. Di pasar London, minyak mentah laut utara ditutup pada harga US$ 105 per barel. “Kombinasi pelemahan dolar dan semakin seretnya pasokan berpotensi mendoroang investor kembali ke pasar (membeli minyak),” kata Mike Fitzpatrick, analis MF Global.

LPS Ikut Menjaga Stabilitas Keuangan

Semua ikut prihatin tentang nasib ekonomi Indonesia akibat krisis subprime mortgage dan LPS pun diminta untuk menjaga stabiltas keuangan seperti di beritakan Kompas,berikut petikannya secara utuh.

LPS Ikut Menjaga Stabilitas Keuangan
Kompas, 28 Maret 2008

Kuta, Kompas - Indonesia harus tetap waspada dan terus mempersiapkan diri terhadap semua kemungkinan yang dapat terjadi apabila krisis ekonomi global menjadi kenyataan.

Untuk itu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bersama Bank Indonesia dan Departemen Keuangan berusaha ikut men- jaga stabilitas keuangan Indonesia.

Hal itu dikemukakan Ketua Dewan Komisioner LPS, Rudjito, pada The 6th Asia Regional Committee Annual Meeting and International Conference yang diselenggarakan LPS di Kuta, Bali, Kamis (27/3).

Akibat dari krisis sektor properti (subprime mortgage) di Amerika Serikat, perekonomian global sampai sekarang masih berada dalam kondisi yang serba tidak pasti.

Menurut Ketua Forum Stabilitas Sistem Keuangan Raden Pardede, sektor perumahan dan pasar tenaga kerja di AS sampai saat ini terus melemah dan mengalami perlambatan.

Konferensi internasional tersebut dihadiri delegasi LPS dari 21 negara, di antaranya India, Filipina, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan Rusia.

Raden mengatakan, berbagai langkah yang dilakukan Pemerintah AS, termasuk menurunkan tingkat suku bunga The Fed, sama sekali belum membuahkan hasil. Ini menunjukkan bahwa persoalan ekonomi AS yang sebenarnya belum kelihatan di permukaan.

Rudjito menambahkan, belajar dari krisis ekonomi Indonesia tahun 1997/1998, LPS bersama dengan BI dan Depkeu telah mempersiapkan diri menjaga stabilitas keuangan Indonesia.

Salah satu langkahnya yaitu memperketat pengawasan dan selalu memberikan supervisi terhadap industri perbankan Indonesia. Namun, lanjut Rudjito, stabilitas dan likuiditas sektor keuangan di Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga-lembaga di bawahnya. ”Tidak bisa hanya tergantung pemerintah. Industri perbankan juga harus ikut menjaga stabilitas,” ujarnya.

Melalui konferensi internasional lembaga-lembaga penjamin yang akan berlangsung sampai Sabtu besok, kata Rudjito, juga bisa belajar apa dan bagaimana sebenarnya peranan sebuah LPS dalam menjaga stabilitas sistem perbankan dan keuangan.

Menurut Rudjito, pada konferensi internasional lembaga penjamin tahun ini, LPS mengambil tema, ”Deposit Insurance as a Cornerstone for Financial Stability”. (REI)