Thursday, November 8, 2007

Ekonomi 2008 Lebih Baik

Ekonomi 2008 Lebih Baik
Seputar-Indonesia, 8 November 2007

JAKARTA(SINDO) – Prospek perekonomian Indonesia 2008 diproyeksikan akan tumbuh lebih baik ketimbang tahun ini meskipun dibayangi kelesuan perekonomian global.

Ekonom senior Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2008 masih akan didorong konsumsi masyarakat. Demikian juga dengan investasi. Meski tidak terlalu pesat, jika program pembangunan infrastruktur pemerintah berjalan, hal itu akan mendorong perekonomian Indonesia tahun depan.

”Kalau kita menghitung PDB (produk domestik bruto) kita, kontribusi ekspor tidak sampai 10%. Sementara 20–- 23% kontribusi investasi, sedangkan konsumsi mayoritas adalah 70%, yakni 60% konsumsi masyarakat dan 10% konsumsi pemerintah,” kata dia seusai seminar Indonesia 2008: Year of Rising Optimism di Jakarta kemarin.

Kendati demikian, mengenai masih dominannya faktor konsumsi sebagai pendorong pertumbuhan, Fauzi menilai hal itu sebagai cermin belum berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terlebih dengan kecenderungan investasi ke Indonesia yang lebih suka masuk ke pasar finansial.

”Iklim investasi kita belum bisa 100% kondusif untuk menyerap investasi yang menampung tenaga kerja secara luas. Investor sekarang bergerak ke proyek-proyek capital intensive, bukan labour intensive sehingga saat ini, 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap tenaga kerja 200.000.

Padahal dulu sampai 400.000-an,” ujar dia. Dalam perhitungan tim ekonomi Standard Chartered Bank, perekonomian Indonesia tahun 2007 akan tumbuh sekitar 6,1% atau lebih rendah dari target pemerintah 6,3%. Sementara pada 2008 akan tumbuh 6,3%. Kemudian, kata Fauzi, pemilihan umum tahun 2009 akan ikut menekan pemerintah meningkatkan belanja infrastruktur, mempercepat program infrastruktur, dan mengimplementasikan reformasi kebijakan.

”Semuanya berdampak positif terhadap perekonomian,” kata dia. Sementara mengenai kenaikan harga minyak dunia, Fauzi mengatakan, hal itu merupakan ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi.Namun,dalam perkiraannya, harga minyak akan turun pada 2008 seiring dengan melambatnya ekonomi global.

Sebagai pembicara dalam seminar tersebut, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Joachim von Amsberg mengatakan, Bank Dunia optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan mencapai 6,4%. Hal itu akan disokong meningkatnya investasi dan penurunan inflasi.

”Pertumbuhan investasi Indonesia kami prediksi bakal melonjak hingga 2,9% menjadi 10,6% tahun 2008 dari 7,7% investasi tahun ini. Inflasinya juga optimistis bisa turun dari 6,5% menjadi 6,0%,” kata Von Amsberg. Lebih lanjut, dia menjelaskan, perekonomian Indonesia tahun 2008 diyakini bakal cukup stabil dari dampak perlambatan ekonomi global akibat krisis subprime mortgage dan kenaikan harga minyak dunia.

”Kenaikan harga minyak akan berangsur turun dari USD96 per barel dan ini akan mendorong perekonomian yang lebih baik. Jadi tidak perlu terlalu resah,” kata dia. Pemerintah belum bisa menentukan besaran target ekspor pada 2008.

Saat ini pemerintah masih berkonsentrasi mencari pasar baru tujuan ekspor nasional yang memiliki pertumbuhan tinggi. Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, pemerintah masih melakukan perhitungan target pertumbuhan ekspor nasional 2008. ”Kita masih menghitungnya. Kalau di RPJM kan target pertumbuhannya antara 10–- 15%. Mungkin masih di sekitar itu,” ujar dia. (zaenal muttaqin)

Thursday, November 1, 2007

Dampak Kenaikan Harga BBM

Bisnis Indonesia melaporkan mengenai dampak secara luas tentang kenaikan harga BBM,berikut petikannya secara utuh.


Bisnis-Indonesia, 1 November 2007

JAKARTA: Lonjakan harga minyak mentah dunia yang melampaui US$93 per barel semakin berdampak luas ke berbagai sektor usaha. Kalangan industriawan pun mulai mengkalkulasi kenaikan harga produk manufaktur.

Di sektor jasa, khususnya pelayaran, bahkan telah dikenakan tambahan biaya untuk menutupi kenaikan berbagai biaya tersebut.

Kalangan pelaku industri mesin dan logam memprediksi harga berbagai produk komponen manufaktur akan dinaikkan hingga 17%, menyusul lonjakan harga bahan bakar minyak industri yang ditetapkan Pertamina 2,9%-6,4%, kemarin.

Kebijakan itu akan berdampak langsung pada peningkatan ongkos produksi komponen. Imbasnya, harga produk komponen manufaktur di pasar domestik ikut melambung.

Pada saat yang sama, pelambatan ekonomi global, yang didorong oleh kenaikan harga minyak mentah dunia, bakal berimbas pada penurunan daya beli masyarakat. Apabila kondisi ini sampai menekan daya beli, kinerja produksi industri pengolahan mesin dan logam-yang menghasilkan produk komponen manufaktur-di dalam negeri akan semakin merosot.

Penurunan produksi ini secara langsung akan membuat biaya produksi per unit menjadi bengkak dan produk yang dihasilkan tidak kompetitif lagi di pasar. “Itu akan menyulitkan daya saing kita,” tutur Ketua Umum Gabungan Asosiasi Industri Pengerjaan Mesin dan Logam A. Safiun, kepada Bisnis, kemarin.

Industri mesin dan logam adalah industri yang menghasilkan komponen manufaktur untuk pembuatan mesin dan perkakas a.l. mesin pertanian, konstruksi, mesin proses, energi, dan alat penunjang.

Pembuatan mesin dan perkakas perlu ditunjang oleh produksi sejumlah komponen a.l. komponen peralatan panen, komponen konstruksi baja dan teknik sipil, komponen mesin tekstil, boiler, turbin, peralatan pembangkit, peralatan pompa, hingga alat ukur deteksi. Industri ini umumnya masih menggunakan BBM sebagai sumber energi.

Selama ini, industri mesin dan logam adalah salah satu sektor manufaktur yang dikenal boros energi. Padahal, di negara maju, mesin dan logam bukan lagi menjadi industri yang lahap energi dan mampu berproduksi secara efisien.

Biaya transportasi.

Menurut Safiun, komposisi biaya energi, terutama BBM dan listrik, di industri mesin dan logam mencapai 12%-15%. Namun, kalkulasi itu baru mencakup proses pengolahan atau produksinya. “Jangan lupa, masih ada biaya transportasi yang juga akan naik 5% hingga 10%.”

Kenaikan biaya angkut itu makin mengguncang kinerja ekspor sektor mesin dan logam tahun depan seiring dengan terjadinya pelambatan ekonomi global.

Di sektor pelayaran, lonjakan harga minyak mentah dunia membuat operator domestik yang melayani angkutan pengumpan (feeder) dari dan ke Singapura berencana mengenakan biaya tambahan (surcharge). “Langkah ini akan ditempuh jika harga minyak dunia terus meningkat signifikan,” ujar Fleet Director PT Tresnamuda Sejati Lengkong MJ.

Lonjakan harga minyak mentah dunia saat ini berdampak serius terhadap pengoperasian kapal nasional yang melayani angkutan feeder. Apalagi biaya BBM mencakup 30%-40% komponen biaya operasional kapal.

Oentoro Surya, Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association, menambahkan kenaikan harga minyak akan berdampak pada fuel surcharge (biaya bahan bakar), bukan pada tarif ocean freight (ongkos pelayaran).

Kenaikan fuel surcharge itu akan berkisar 10%-20%. Di pihak lain kenaikan biaya operasional juga diperkirakan terjadi di industri penerbangan, dari 50% menjadi 60%.
(Hendra Wibawa/Aidikar M. Saidi/k1) (
yusuf.waluyo@bisnis.co.id)

Biasanya kalau terjadi lonjakan seperti itu orang kecilah yang menjadi korbannya untuk itu mari kita bersama sama mengurangi beban mereka.