Sunday, April 27, 2008

Greenspan dan Warisan Krisis

Inilah Tokoh yang sangat disegani di AS yang saat ini justru dituding sebagai biang kacaunya ekonomi AS berikut petikannya secara utuh dari koran Kompas.

Senin, 31 Maret 2008 00:41 WIB

Kalau ada tokoh paling kontroversial dalam sejarah krisis ekonomi AS, salah satunya mungkin adalah Alan Greenspan. Waktu masih menjabat, Greenspan yang menjabat sebagai pimpinan Federal Reserve selama hampir dua dekade (Agustus 1987-31 Januari 2006) bisa dikatakan adalah salah satu pimpinan bank sentral paling kuat dan disegani di AS, bahkan di dunia.

Ia menerima perlakuan dan sorotan bak selebritas, melebihi bintang-bintang musik rock ternama. Ia juga menjadi acuan semua pengelola bank sentral (central bankers) di seluruh dunia. Banyak julukan diberikan kepadanya oleh media massa dan kalangan bankir. Mulai dari the Giant, Maestro, ”symbol of American Economic Preeminence”, ”orang yang mampu membawa ekonomi keluar dari serangkaian bencana dan malapetaka”, ”tokoh yang mampu membawa perekonomian AS ke dalam salah satu booming ekonomi terpanjang dalam sejarah”, ”tokoh yang mampu menjinakkan gejolak saham dalam peristiwa crash pasar saham (Black Monday) tahun 1987”. Dan masih banyak lagi.

Tetapi, seiring resesi dan krisis finansial yang kini mulai menggulung perekonomian AS, nama Greenspan juga berada di tengah pusaran caci maki. Kebijakan Fed di bawah Greenspan dituding berperan besar dalam membawa keambrukan ekonomi AS sekarang ini. Melalui kebijakan moneter longgar dan suku bunga rendah, Greenspan dituding telah membangun ”rumah kartu” dan mewariskan bom waktu yang kini perlahan terurai dan menunggu meledak dalam skala penuh.

Kebijakan suku bunga rendah yang dimulai sejak tahun 2002, saat Greenspan secara agresif mulai menurunkan suku bunga, telah memicu terjadinya real estate bubble (booming sektor perumahan diikuti inflasi harga perumahan secara tidak wajar), yang mencapai puncaknya tahun 2005-2006.

Greenspan dalam pengakuan waktu itu mengatakan, kebijakan (menciptakan bubble di sektor perumahan) itu disengaja dengan tujuan untuk menggantikan bubble saham industri dot.com yang sudah berakhir. Alasan dia, itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan perekonomian AS dari resesi akibat kolapsnya industri dot.com. Kemampuan manuver untuk menyelamatkan ekonomi AS dari satu krisis akibat suatu bubble dengan cara menciptakan bubble baru itu membuat ia dijuluki ”The Bubble Man”.

Greenspan menjadi sosok penuh kontroversi lewat kontradiksi tindakan dan ucapannya yang mengesankan ia tak mau dipersalahkan atas segala kemelut yang dihadapi perekonomian AS sekarang ini. Terkait tudingan bahwa ia telah merampok masyarakat dan memperkaya kaum berpunya lewat dukungannya terhadap kebijakan pajak regresif yang ditempuh Bush, misalnya. Greenspan mengklaim dia justru menentang kebijakan tersebut.

Padahal, faktanya, dalam testimoni di depan Komite Anggaran Senat 2001, menurut analis Stephen Lendman dalam sebuah artikel di Global Research, Greenspan memang mendukung penuh kebijakan ekonomi Bush yang bertumpu pada paket kebijakan pemotongan pajak yang sangat bias pada usaha besar dan kelompok kaya dengan dalih untuk merangsang ekonomi. Waktu itu Greenspan terang-terangan mengatakan, pemangkasan pajak diperlukan untuk mencegah meluasnya keterpurukan ekonomi.

Greenspan juga mengadvokasikan diakhirinya UU anti-trust, regulasi dan aturan mengenai pelayanan sosial, agar tak ada apa pun lagi yang bisa mengganggu keserakahan bisnis dan perburuan profit oleh para pelaku pasar uang. Maka, faham kebijakan ekonominya pun diplesetkan dari Greenspanomics menjadi Greedomics (ekonomi yang digerakkan oleh keserakahan).

Ia juga mengatakan, tak bertanggung jawab atas terjadinya bubble pasar saham tahun 2000. Dia mengaku tidak melihat indikasi ke arah itu sebelumnya. Padahal, bubble itu tak akan terjadi tanpa ada kebijakan menggelontorkan likuiditas dalam skala masif seperti yang dilakukannya.

Tak akurat

Berbagai kebijakan yang ditempuh Greenspan menunjukkan ia sebagai pimpinan Bank Sentral berulang kali mengabaikan atau tidak akurat dalam membaca gejala/potensi bahaya atau ketidakberesan yang muncul saat itu. Padahal, kebijakannya menjadi acuan semua pelaku ekonomi, bukan hanya di AS, tetapi di seluruh dunia. Salah satunya, saat ia memprediksikan cerahnya prospek industri berbasis teknologi informasi.

Sepekan kemudian, indeks Nasdaq untuk saham-saham teknologi mengalami crash (anjlok dramatis) dari 5.048 menjadi 1.114 pada 9 Oktober 2002 atau terpangkas 78 persen. Indeks S&P 500 untuk 500 saham unggulan bernasib sama, terjerembab 49 persen. Para investor pun babak belur. Hari itu dikenal sebagai Selasa Kelam (Black Tuesday) oleh kalangan pasar modal. Dan apa yang dilakukan Greenspan? Tak jera, ia malah sibuk mengorkestrasi bubble baru dengan apalagi kalau bukan kembali menggelontorkan likuiditas murah bak tsunami ke Wall Street dan para investor besar, kali ini untuk sektor perumahan kelas dua (sub-prime). Dampak katastropik meletusnya bubble itulah yang kini kita saksikan di AS.

Bagi mereka yang lama mengenal Greenspan, semua sepak terjang dan reputasi Greenspan itu ternyata bukan hal yang mengagetkan. Mungkin orang tidak tahu, Greenspan yang mendapat gelar PhD dari Columbia University (padahal ia tak pernah menyelesaikan disertasinya) itu ternyata tak bisa dikatakan sukses mengelola bisnisnya sendiri.

Salah seorang pesaing usahanya, Pierre Renfret, mengatakan bahwa perusahaan konsultan Greenspan selalu membuat rekor prediksi paling tidak akurat atau jauh meleset, dan akhirnya bangkrut dan harus ditutup. Artinya, sebagai wirausahawan ia gagal. Anehnya, ia banyak dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan penting yang terkait dengan penyusunan prediksi ekonomi di pemerintahan, bahkan akhirnya jadi pimpinan Fed untuk beberapa periode lagi.

Namun, semua cacian yang dihadapinya sekarang itu tampaknya tak mengusik Greenspan. Di usia 81 tahun sekarang ini, ia tetap bisa menikmati pensiun dengan tenang. Buku memoarnya, The Age of Turbulence, laku 1,9 juta kopi lebih dan dari penjualan buku itu ia mengantongi royalti tak kurang dari 8,5 juta dollar AS (hanya kalah dari buku Bill Clinton yang 10 juta dollar AS).

Ia juga mendirikan perusahaan konsultan sendiri (Greenspan Associates LLC) dan hampir semua lembaga investasi atau bank besar berebut merekrutnya karena koneksi ekstensif yang ia miliki. Undangan berbicara tak pernah sepi dan kantongnya pun semakin tebal. Honor ratusan ribu dollar AS yang diterimanya setiap kali tampil sekarang ini, menurut Lendman, belum seberapa dibandingkan dengan triliunan dollar AS uang yang ia bantu salurkan ke kaum kaya (rich) dan superkaya (super rich). Istilah Lendman, mereka saling menjaga di antara sesama mereka. (Sri Hartati )

No comments: